Sejarah Kota Tebing Tinggi dan Kerajaan Negeri Padang
![]() |
Lambang Kota Tebingtinggi Deli |
"Hari jadi Kota Tebing
Tinggi 1 Juli 1917 perlu diadakan kajian ulang, sebab sejak ditetapkan sebagai
Gementee (wilayah otonom) pada 96 tahun lalu, ternyata hingga kini tidak
memiliki legalitas dan dasar hukum. Atas dasar itu, perlu dilakukan studi
sejarah yang akuratif untuk menentukan hari jadi kota lintasan itu, berdasarkan
data-data historis lokal yang lebih otoritatif.
Mantan anggota DPRD
Tebingtinggi, Drs H Done Ali Usman MAP pada sesi tanya jawab mengungkapkan,
DPRD tidak pernah mengesahkan penetapan hari jadi kota itu, karena adanya
laporan data sejarah yang dibuat kala itu bias. “Saat itu akan disahkan DPRD,
tapi ada laporan dari wartawan senior Amir Taat Nasution, nantinya sejarah yang
dibuat itu bias. Kami pun tak jadi mengesahkannya”, tegas mantan anggota DPRD
era 1971 itu di hadapan ratusan peserta.
Sedangkan pengamat sejarah
Kota Tebingtinggi Drs Abdul Khalik MAP mempersoalkan penetapan hari jadi kota
Tebingtinggi 1 Juli 1917 berdasarkan Ordonantie Van Staatblad 1917 tanggal 1
Juli 1917. Dikatakan, penetapan itu jelas menelikung fakta sejarah yang ada,
karena banyak situs-situs sejarah menunjukkan keberadaan Tebingtinggi lebih tua
dari masa itu. “Misalnya, situs sejarah lonceng ibadah di Vihara Mahadana
bertarikh 1807 atau makam tertua orang Tionghoa di kuburan Sei Segiling
bertarikh 1916. Juga usia Masjid Raya Nur Ad Din yang didirikan pada 1870,”
paparnya.” (Medan
Bisnis Daily).
Sekapur
Sirih Tentang Melayu Sumatera Timur
Pendahuluan
Kerajaan
Negeri Padang adalah salah satu wilayah berdaulat yang mempunyai pemerintahan
sendiri sebelum akhirnya menjadi daerah takluk Kerajaan Deli di masa Penjajahan
Belanda. Di masa setelah 1946, pasca meletusnya Revolusi Berdarah yang
dinamakan Komunis Pengkhianat dengan sebutan Revolusi Sosial, Kerajaan Negeri
Padang tunduk dan bergabung dengan Pemerintah Republik yang beribu kota di
Negeri Jawa, dan menjadi Kewedanan Padang.
Adapun
wilayah Kewedanan Padang, sebelah Timur berwatas dengan Kabupaten Asahan,
sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Barat dengan Kewedanan
Bedagai dan Utara dengan Selat Malaka. Kewedanan Padang masuk dalam wilayah
Kabupaten Deli Serdang.
Kewedanan
Padang terdiri atas 4 Kecamatan dengan Ibu Kotanya Tebing Tinggi. Menurut
geografinya, Kewedanan Padang terdiri dari 2 daerah yaitu:
I. Padang
Hulu dengan 2 Kecamatan yaitu, Kecamatan
Dolok Merawan dan Kecamatan
Sipis-pis.
II. Padang
Hilir terdiri dari, Kecamatan
Tebing Tinggi dan Kecamatan
Bandar Khalifah.
Setiap
Kecamatan diperintah oleh seorang Asisten Wedana, sekarat disebut Camat.
Tebing
Tinggi, selain jadi Ibu Kota Kewedanan Padang juga menjadi Kota Otonom yang
Kepala Pemerintahannya dirangkap oleh Wedana. Terakhir Daerah Kewedanan dihapus
dalam Pemerintahan Republik.
Semasa
Pemerintahan Belanda, Kewedanan Padang ini disebut Distrik Padang, terdiri atas
4 onder-distrik. Kewedanan Padang sendiri masuk dalam onder-afdeling Padang
Bedagai di dalam Afdeling Deli Serdang. Afdeling Deli Serdang berkedudukan di
Medan, diperintah oleh seorang Asisten Residen.
Melayu secara puak (etnis, suku),
bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di
Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa,
Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. beberapa tempat di Sumatera Utara, ada
beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku “Orang Kampong”- Puak Melayu.
Ini semua karena diikat oleh kesamaan agama yaitu Islam, Bahasa dan Adat Resam
Melayu.
Begitu juga dengan Kerajaan
Padang adalah Kerajaan Melayu karena diikat oleh agama Islam, beradat resam
Melayu & berbahasa Melayu, yang kini menjadi Kota Tebing Tinggi, Bandar
Khalifah dan sekitarnya.
Di Sumatera Utara hingga
1946, di wilayah kemelayuan terdapat 4 Kesultanan, 4 Yang Dipertuan setingkat
Kesultanan, serta beberapa Kerajaan serta Kedatukan. Kesultanan tersebut yaitu
Kesultanan Langkat (ibu negeri di Tanjung Pura), Kesultanan Asahan (ibu negeri
di Tanjung Balai), Kesultanan Deli (ibu negeri di Medan) dan Kesultanan Serdang
(ibu negeri di Kota Galuh – Perbaungan).
Yang Dipertuan setingkat
Kesultanan, adalah Yang Dipertuan Negeri Kualuh (disebut juga Kualoh Leidong,
dengan ibu negeri di Tanjung Pasir), Yang Dipertuan Negeri Bilah ibu negeri di
Bilah), Yang Dipertuan Negeri Panai (berbeda dengan Panei di Simalungun, Panai
ber-ibu negeri di Labuhan Bilik), dan Yang Dipertuan Negeri Kota Pinang (ibu
negeri di Kota Pinang).
Terdapat pula beberapa
Kerajaan dan Kedatukan, sebut saja Kerajaan Padang, Kerajaan Bedagai,
Kedatukkan Batubara yang turut memaktub Kerajaan Pagurawan, Tanjung Kasau,
Sipare-pare, Tanjung.
Sejarah
Kerajaan Negeri Padang bisa dirunut dari Sejarah Aceh
Dimula tahun 1607 dibawah
kepemimpinan Iskandar Muda, Aceh semakin berjaya. Ia menaklukkan Sumatera
Timur, Tanah Melayu hingga Melaka, guna
menguasai hasil bumi untuk ekspor.
Banyak diturunkan pembesar
kerajaan, misalnya Ulèëbalang ke wilayah Sumatera bagian timur. Sebut saja dua
bangsawan Aceh beserta rombongan. Satu Ulèëbalang kelak menjadi zuriat Datuk
Paduka Raja Batangkuis Kesultanan Serdang, ialah Ulèëbalang Lumu. Sedang satu
bangsawan belia mendarat di Bandar Khalifah bernama Umar.
Tidak cukup menaklukkan
Bandar Khalifah, Umar menyusuri
pedalaman di hulu Raya. Saat di hutan Tongkah, ia bertemu dengan rombongan Raja
Tongkah ber-clan Saragih yang sedang berburu
pelanduk. Sekarang Tongkah ini bernama Kampung Muslimin dekat Nagaraja
kecamatan Tapian Dolok (Perbatasan Serdang Bedagai dan Simalungun). Salak
anjing buruan tak berani menggigit Umar, karena Umar seperti mampu menundukkan
anjing menyalak. Raja itu terkagum-kagum melihat sosok Umar, lalu mengangkatnya
menjadi putera angkat, karena Raja yang sudah berumur itu belum memiliki keturunan.
Sebagai anak dari ‘rumpun
buluh’ (istilah lain untuk menyebut anak yang diangkat bukan dari pemberian
orang tua kandungnya langsung, namun dianggap anak yang diutus Tuhan),
kehadiran Umar ternyata membawa tuah, istri raja akhirnya melahirkan. Anak yang
dilahirkan tersebut dinamai Raja Betuah Pinangsori. Demikian konon kabar
hikayat.
Dada Mauraxa dan Tengku Luckman
Sinar menulis, bahwa di wilayah Tongkah ini, diketahui adanya puing-puing
peninggalan zaman Hindu purba, Rajanya pernah membantu temannya bernama Peresah
untuk merebut tahta Kerajaan Nagur (Kerajaan sezaman Aru).
Ringkas kisah, Umar akhirnya
kembali melanjutkan perjalanannya ke hilir. Menyusuri hutan Tongkah menuju
wilayah Bajenis (kini Kota Tebing Tinggi). Di wilayah yang berpadang di tempat
tersebut, beliau memulai membangun kekuasaan dengan gelar Baginda Saleh Qamar
pada 1630. Inilah awal berdirinya Kerajaan Padang, awal mula pemerintahan di Tebing
Tinggi dan sekitarnya. Beliau mangkat pada 1640.
Sejarah
Kerajaan Negeri Padang dari Naskah Tua Peninggalan Kerajaan
Dari salinan data yang
berasal dari naskah tua dari Zuriat Kerajaan Padang Tebing Tinggi yang aslinya
ditulis dengan aksara arab melayu berbahasa Melayu asal-usul berdirinya
Kerajaan Padang, bercerita bahwa keturunan raja di negeri Padang yakni turunan
dari sebuah wilayah di hulu raya.
Pada zaman dahulu adalah
bangsawan bernamanya Guk Guk, dia pergi
berburu pelanduk ke hutan, karena istrinya sedang hamil dan mengidam ingin
memakan pelanduk, maka pergilah Guk Guk bersama orang kepercayaan kerajaan dan
masyarakatnya membawa anjing buruannya. Namun tak seekor pelanduk atau kancil
yang dapat, tetapi ketika hendak pulang ke kampung, anjing pemburunya tiba-tiba
menyalak melihat batang buluh beruas besar. Buluh itu kemudian dibawa pulang ke
rumah. Saat itu juga Raja Guk Guk melihat istrinya melahirkan anak laki-laki
kemudian diberi nama Raja Betuah Pinang Seri. Secara bersamaan Raja Guk Guk dikejutkan
dengan kemunculan anak laki-laki yang ada di dalam bambu besar yang dibawanya
tadi. Anak yang ada di dalam bambu itu kemudian diberi nama Umar Baginda Saleh
(pendiri Kerajaan Padang). Dalam terminologi bahasa kias Melayu, anak dari
‘rumpun buluh’ dimaksud untuk menyebut anak yang diangkat bukan dari pemberian
orang tua kandungnya langsung, namun dianggap anak yang diutus Tuhan.
Karena terjadi perselisihan
antara keluarga, maka Umar Baginda Saleh merantau ke hilir hingga menetap di
wilayah Tebingtinggi sekarang yaitu di
Bajenis Tebingtinggi.
"Meski Tuanku Umar
gelar Baginda Umar Saleh Qamar berdarah bangsawan Aceh yang kelak menurunkan
zuriat Kemelayuan di Tebing Tinggi, namun rasa terimakaih telah dianggap anak
olek Raja Saragih Dasalak, menjadi ucapan dari mulut ke mulut bahwa zuriat
Melayu di Tebing Tinggi mengaku clan Saragih pula. Hal ini mungkin pula
berunsur politis, karena kekuasaan laskar Raya dan wilayah berhampiran dengan
Kerajaan Padang banyak dihuni orang Simalungun, hingga menyebut diri Saragih
menjadi proses pendekatan psikologis".
Sekapur
Sirih Kerajaan Negeri Padang dan Tamaddun Negeri Berhamparan
Padang dalam bahasa Melayu
berarti tanah yang datar dan luas yang tidak ditumbuhi pokok-pokok nan berkayu
besar. Ia berarti pula lapangan. Ada beberapa pepatah Melayu menggunakan kata
'Padang'.
Sebut saja: Lain padang lain belalang
(tiap-tiap negeri berlainan aturan dan adatnya), Tersesak padang ke rimba
(habis akal bicara sehingga tidak ada daya upaya lagi), Padang perahu di
lautan, padang hati dipikirkan (demikian luas hati itu, berapa banyak pikiran
masuk di dalamnya tidak akan penuh), Di padang orang berlari, di padang sendiri
berjingkat, (tabiat orang tamak, mau menerima, tetapi tidak mau memberi).
Tak sedikit nama tempat dan nama
lainnya di Sumatera Timur, memakai kata Padang. Ada Padang Bulan, Padang
Halaban, Sungai Padang, atau Padang Tualang.
Dalam buku Parpadanan
Nabolag, ada disebutkan raja mengutus pembesar untuk mencari menantu di Padang
Rapuhan. Wilayah ini sekarang lebih akrab disebut Serapuh, dekat Silou Dunia.
H. Achmad Kamiludddin Miraja
dalam Kisah Semangat Juang Anak Putus Sekolah, menulis: “Syahdan, Umar Saleh
tinggalnya di hulu padang. Dalam pada itu, Raja Negeri Bedagai bergelar Yang
Dipertuan Raja Negeri Panjang dan di Tanjungbalai ia adalah Raja, sementara
Raja Adim duduk di Tanjungbolon. Pada
suatu hari datanglah Raja Umar Saleh dari Padang menemui Raja Adim di
Tanjungbolon untuk bermusyawarah membuat perjanjian bahwa antara mereka berdua
sedia berserugi dan selaba. Setelah dibuat perjanjian itu, maka Raja Umar Saleh
pulang ke Negeri Padang. Tidak berapa lama, Raja Umar Saleh pergi lagi ke
Bedagai menghadap Yang Dipertuan Raja Panjang serta memulangkan Negeri Padang
kepada Yang Dipertuan Raja Panjang dan ingin membuat aturan tanah supaya tidak
saling berbantah anak cucu dikemudian hari.
Maka diaturlah: Perwatasan
Padang dengan Tanjung di sebelah lat Jaring Halus dan di darat daerah
Peranggiran Perlimbatan dan Perlimbatan Simpangempat. Daerah Simpangempat itu
tempat banyak orang yang kena samun. Sebelah
ke barat Padang untuk yang punya tanah dan sebelah ke timur Tanjung
untuk yang punya tanah. Perwatasan Tanjung dengan Dolok ialah dari Simpangempat
menuju ke Parapat. Ke hulu Dolok untuk yang punya tanah dan ke hilir Tanjung untuk yang punya tanah.
Kemudian dibagi lagi tanah Datuk Saidi Muhammad – Batubara, yaitu batas sebelah
tepi laut Gambus dan batas sebelah darat Rih Sigulanggulang. Perbatasan dengan
Siantar, Bah Kemungmung menuju Sialang Condong”.
WHM Schadee dalam Geschiedenis
van Sumatra’s Ooskust, deel I (Sumatera Instituut Amsterdam 1918) hal 104,
bahwa terjadi cerita pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang.
Turunan kelima dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal. Sedang Panglima Amal ini
menjadi Sultan dengan akta Sultan Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat
berkunjung ke Deli pada 1823 juga bertemu dengan Panglima Amal yang telah
menjadi Sultan.
Jika ingin mencari kesamaan
kata saja, Kejeruan Padang dan Kejeruan Ketarin pernah ada di wilayah cikal
Deli & Serdang, boleh jadi ini ada kaitan dengan Padang yang dimaksud dalam
tulisan ini. Dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan Padang, yang
turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu generasi adalah
30 tahun dengan patokan tahun eksistensi Panglima Amal adalah 1814, maka 1814 –
(5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang sudah ada dan sudah
dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan Padang di wilayah lain.
Anderson juga menjelaskan
bahwa kerajaan yang dilintasi sungai Kuala Padang ini sebagai ‘an independent
state’.
John Anderson, tentang Kuala
Padang menulis: a considerable sized
river. This is an independent state. Radja Bidir Alam, the present chief, has
reigned nineteen years. His son is Radja Muda Etam. The two principle villages
are Bandar Khalifah, containing 500 inhabitants, and Bundar Dalam, 600 Malays.
There are about 3000 triebe Kataran in the country. The first village is half a
tide up.
Dalam Nota 1807-1888,
seorang tokoh militer, politikus, dan penulis Belanda, dalam agendanya menulis bahwa ‘Kerajaan
Padang di Sumatera Timur adalah kerajaan Melayu yang menjadi negeri jajahan
Deli. Raja dan rakyat berbahasa Melayu pesisir dan berbudaya Melayu yang begitu
asli”. Ia juga menulis “Masyarakatnya ramah dan pandai menari Melayu diiringi
lagu-lagu Melayu sendu dan suguhan makanan Melayu yang berkelas dengan campuran
susu (santan) kelapa”.
Kerajaan Padang bahkan telah
mempengaruhi tamaddun negeri berhampiran, sebut saja Tuanku Umar Baginda Saleh
(1630); menurut buku Perbaikkan Konsep Sejarah Deli Serdang 1987), memiliki
putra yang bernama Marah Ali Maluddin yang bernobat di kampong Perbatu di
negeri Padang, putranya bernama Marah Jana mendirikan Tanjung Merawa – Senembah
(makam beliau di Kampung Batu Bedimbar). Cucunya dari Marah Dewa, bernama Datuk
Raja Paterum gelar Johan Pahlawan (Raja Tanjung Merawa) menikah dengan putri
kejeruan Senembah di Sei Bahasa,1723, semasa awal berdirinya Serdang.
Ia memiliki empat putra, dua
diantaranya masing-masing pindah ke Sunggal dan Sicanggang Langkat, seorang
lagi bernama Datuk Tharib (Kampong Baru – Serdang), satu lagi adalah Datuk
Marah Hullah (Datuk Tanjung Merawa).
Meski secara usia Kerajaan
Padang di Tebing Tinggi lebih tua dari Kesultanan Serdang, hingga 1854 Padang
serta Bedagai pernah menjadi negeri jajahan Serdang.
Pada 6 Oktober 1865, residen Riau yaitu E Netscher atas nama Gubernemen mengeluarkan akta yang menetapkan daerah taklukkan (kewaziran) Deli yaitu Padang (Tebing Tinggi), Bedagai, Denai dan Percut.
Pertempuran Serdang dengan Kolonial Belanda
(1865) Di Kuala Namu
Pada masa pemerintahan Sultan Basyaruddin, Belanda masuk ke Serdang dalam
Expedisi militer disebut “Militaire”. Pada tanggal 30 September 1865 pasukan
Belanda berkekuatan setengah battalion infanterie, 1 detasemen khusus alat
berat dan 1000 marinier menggunakan kapal perang dan 7 kapal patroli mendarat
di Serdang. Sultan Basyaruddin membuat lokasi pertahanan di pedalaman hutan
Koeala Namoe (sekarang Kuala Namu International Airport). Belanda kemudian
menyerang lokasi pertahanan tersebut.
Serdang harus menerima kekalahan dan Sultan Basyaruddin mendapat hukuman dari Belanda dengan merampas wilayah Padang, Bedagai, Denai dan Percut yang kemudian diserahkan Belanda kepada Deli.
Serdang harus menerima kekalahan dan Sultan Basyaruddin mendapat hukuman dari Belanda dengan merampas wilayah Padang, Bedagai, Denai dan Percut yang kemudian diserahkan Belanda kepada Deli.
Pada 6 Oktober 1865, residen Riau yaitu E Netscher atas nama Gubernemen mengeluarkan akta yang menetapkan daerah taklukkan (kewaziran) Deli yaitu Padang (Tebing Tinggi), Bedagai, Denai dan Percut.
![]() |
Lambang Kesultanan Deli |
Berikut urutan Raja-Raja di
Kerajaan Negeri Padang:
2. Marah Sudin
3. Marah Saladin
4. Marah Adam
5. Marah Syahdewa
6. Marah Sidin
7. Marah Titim gelar Raja Tebing Pangeran (1806-1853)
8. Marah Hakum gelar Raja Geraha (1853-1870)
9. Marah Huddin / Tengku Haji Muhammad Nurdin (gelar dari Deli: Tengku
Maharaja Muda Wazir Negeri Padang 1870-1914).
Pemangku: Tengku Abdurrahman
(Berahman), dengan ekspansi Deli dalam pemerintahan langsung yang menghunjuk
wakil Deli yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888). Tengku Ibrahim dan Tengku
Djalaluddin - Tengku Temenggung Deli (Pemangku 1914-1926).
10. Tengku Alamsyah gelar Tengku Maharaja Bongsu (1926-1931).
11. Tengku Ismail (1931-1933).
12. Tengku Hassim (Tengku Hassim lahir pada 29 Januari 1902 di
Bandar Sakti, menjabat pada1933-1946)
RAJA-RAJA
KERAJAAN NEGERI PADANG
Tuanku Umar Baginda
Saleh yang membuat istana di Bajenis –
Tebing Tinggi, memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah
Alimaludin, Marah Adam serta seorang putri. Setelah Tuanku Umar Baginda Saleh mangkat 1640, Raja beralih kepada Marah
Sudin.
Turunan Marah Sudin dari
garis putri beliau yaitu Meurah Zaenab yang menikah dengan orang Melayu Pesisir Barat (Barus/Natal), yang kelak
menjadi Raja Negeri Padang setelah Raja Tebing Pangeran.
Marah Alimaludin memperluas
wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Masa itu Marah Adam
turut di Pabatu. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah
Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai
wilayah Bulian.
Raja
II. Marah Sudin
Raja
III. Raja Saladin
Kerajaan Padang di zaman
Raja/ Marah Saladin terpusat di Bulian. Di zamannya terkisah banyak kejayaan,
meski umur beliau tak panjang.
Raja
IV. Raja Adam
Raja
V. Raja Syahdewa
Raja
VI. Raja Sidin (sekitar 1780-1806)
Raja
VII. Marah Titim gelar Raja Tebing Pangeran/ Tengku Tebing Pangeran (1806-1853)
Raja Ketujuh adalah Raja
Pangeran yang tangkas dan cakap serta memimpin langsung perdagangan sampai ke
luar negeri, yaitu Pulau Pinang, Singapura dan Thailand (Siam). Pada masa
pemerintahan raja ini dari awal abad XIX yaitu kira-kira tahun 1806 sampai
tahun 1853 perdagangan sangat pesat majunya dan pelabuhannya adalah Bandar
Khalifah.
Hasil Hutan yaitu dammar,
gambir, rotan dan lain-lain dari Kerajaan Raya, berkumpul di suatu tempat di
tepi sungai Padang disebut Pangkalan, yaitu tempat perahu tertambat, di hulu
Kampung Tanjung Marulak, Tanjung Bungan dan Rambutan. Dari situ dibawa ke hilir
dengan perahu-perahu besar dinamai “sampan Sagur” ke pelabuhan Bandar Khalifah.
Dan dari sini barang dagangan ini dibawa dengan kapal, sekunar, pencalang dan
wangkang ke seberang yaitu Pulau Pinang, Tumasik (Singapura) dan Malaka serta
Siam (Thailand).
Tempat pengumpulan barang di
tepi Sungai Padang tersebut terletak di muara atau pertemuan Sungai Bahilang
dengan Sungai Padang yang Tebingnya sangat tinggi dan dinamai oleh Raja
Pangeran, Pangakalan “Tebing Tinggi”. Inilah asal nama Kota Tebing Tinggi yang
sekarang.
Raja Pangeran mengawasi dengan ketat jalannya perdagangan ini hingga ke pelabuhan Bandar Khalifah, itulah sebabnya beliau terkenal dengan julukan “Raja Tebing Pangeran/ Tengku Tebing Pangeran (dalam dialek setempat menjadi Tongku Tobing Pangeran)”. Dari hasil perdagangan ini Raja Tebing Pangeran membuat istana di Bandar Khalifah sampai bekas istana tersebut dapat dilihat. (Muhammad Ridwan/ Putra Praja)
![]() |
Padang River |
Raja Pangeran mengawasi dengan ketat jalannya perdagangan ini hingga ke pelabuhan Bandar Khalifah, itulah sebabnya beliau terkenal dengan julukan “Raja Tebing Pangeran/ Tengku Tebing Pangeran (dalam dialek setempat menjadi Tongku Tobing Pangeran)”. Dari hasil perdagangan ini Raja Tebing Pangeran membuat istana di Bandar Khalifah sampai bekas istana tersebut dapat dilihat. (Muhammad Ridwan/ Putra Praja)
Raja Tebing Pangeran
memiliki putra, diantaranya adalah Tengku Haji Jamta Melayu. Tengku Haji Jamta
Melayu makamnya bersebelahan dengan ayahandanya - Raja Tebing Pangeran di
Bandar Khalifah. Raja Tebing Pangeran secara genekologi adalah percampuran
darah Kerajaan Negeri Padang dan Kesultanan Johor.
Di masa Raja Tebing Pangeran inilah terbentuk negeri yang bernama Tebing
Tinggi hingga beliau bergelar Raja Tebing Pangeran. Di masa beliau 1806 - 1853,
Tebing Tinggi banyak berbenah sebagai pusat perdagangan dan tata nilai lainnya.
Dalam kitab Syair Padang
beraksara Arab jawi, ada sebait berbunyi: “Topat selaso Tongku Malayu tahir,
Tobing pun becahyo hulu ka hilir, Tongku Tobing Pangeran setawar digilir, Pado
22 dzulkaidah 1220 hijrah nabi nan akhir”. (Tengku M. Muhar Omtatok)
Syair ini mengagungkan dan
menyebut tarikh penanggalan 22 zulkaidah 1220 Hijriah dan hari selasa. Jika
tahun 2013 sama dengan tahun 1434 Hijriah maka 1434 – 1220 = 214 tahun, yang
berarti kota Tebing Tinggi setidaknya sudah ada sejak 214 tahun lampau.
Di zaman Raja Pangeran ini, banyak berdatangan orang luar Tebing
Tinggi untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata, Rotan
dan lainnya.
Di zaman ini pula dibangun
pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat
di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi.
Menurut catatan; Raja Tebing Pangeran
mengajak salah seorang putra dari istrinya : Raja Syah Bakar (dialek tempatan
menyebut dengan: Raja Syahbokar) untuk
membantu beliau mengatasi upaya ekspansi Deli 1853. Deli dengan bantuan Bedagai
melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Daeng Salasa gelar Panglima Daud,
seorang bangsawan kesatria berdarah Bugis di Bedagai.
Raja Padang memimpin
perlawanan, peperangan hingga Deli; Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan.
Peperangan menghitam karena menganak sungai yang kering, hingga tempat itu
selanjutnya lebih popular disebut Sungai Berong (Berong = Hitam – pinggiran
luar Tebing Tinggi).
Dalam sebuah referensi, Raja Tengku Tebing Pangeran gugur di tangan
Panglima Daud. Sumber lain mengatakan bahwa Raja Tengku Tebing Pangeran turut
gugur di mata keris miliknya yang direbut Daeng Salasa gelar Panglima Daud di
Kampung Juhar – Bandar Khalifah.
![]() |
Keris Jenis Tumbuk Lada, Keris Milik Tengku Tebing Pangeran |
Tengku Tebing Pangeran
menikah dengan seorang balu beranak, serta menikah dengan gadis bangsawan
Melayu Semenanjung. Makam Tengku Tebing Pangeran di Bandar Khalifah,
bersebelahan dengan makam puteranya yaitu Haji Tengku Jamta Melayu.(Tengku
Muhammad Muhar Omtatok - Keturunan Tengku Tebing Pangeran)
Pada Tahun 1853, Sultan Deli
yaitu Sultan Usman Perkasa Alamsyah menyerang Kerajaan Padang dengan Pimpinan
Panglima Daud (orang Bugis) dari Bedagai, namun dapat dikalahkan oleh Kerajaan
Padang. Lalu Raja Tebing Pangeran diundang ke Bedagai atas nama Sultan Deli
untuk berunding, namun dalam perjalanan menuju Bedagai di sekitar Kampung
Juhar, beliau ditikam oleh Panglima Daud dengan keris beliau sendiri yang telah
dicuri seorang penghianat. Raja Tebing Pangeran dikebumikan di Kampung Gelam
Bandar Khalifah, tertulis “Makam Tengku Pangeran".(T. Ibnu Hibban)
Raja VIII dari Kerajaan
Negeri Padang Seyogyanya adalah Raja Syahbokar, putera Raja Tebing Pangeran,
namun pihak keluarga terutama dari keturunan Puang Zainab dan Barus keberatan
jika Raja Syah Bokar diangkat menggantikan ayahandanya, karena beliau belum
dewasa. Maka diadakanlah musyawarah keluarga, keputusannya adalah:
Pertama, bahwa pengganti
Raja Tebing Pangeran, jatuh kepada cucu Raja ke-2 yakni Marah Ja’far bin Marah
Saleh Safar bin Marah Sudin. Seyogyanya Marah ja’far inilah menggantikan Raja
Tebing Pangeran menjadi Raja Negeri Padang, namun oleh keluarga terutama
keturunan Puang Zainab dan Orang Barus, mereka mengatakan bahwa Marah Ja’far
tidak waras/gila. (Makamnya di kampung Sei Suka Tanjung Kasau). Situasi menjadi
panas dan tidak menentu.
Kedua, dalam situasi
demikian, pihak keturunan Puang Zainab (puteri ke-2 Tuan Umar Baginda Saleh
Qamar) dan Orang Barus, memutuskan mengangkat Marah Hakum, generasi ke-5 dari
Puang Zainab dan orang Barus menjadi Raja Negeri Padang ke-VIII berkedudukan di
Huta Usang/ Kuta Usang dengan gelar Raja geraha/ Raja Goraha. (T. Ibnu Hibban)
Raja
VIII. Marah Hakum gelar Raja Geraha Negeri Padang (1853-1870)
Semasa pemerintahan Raja
goraha, banyak pendatang dari Simalungun/ Raya. Di antara beberapa pendatang
diangkat menjadi orang besar kerajaan, antara lain, Datur Kajum Damanik, Orang
Kaya Matlahan, Bandar Hasan gelar Tuan Rambutan, Orang Kaya Syahimbang Saragih,
Orang Kaya Dasiah.
Kerajaan Padang yang dipimpin Marah Hakum gelar Raja Geraha yang dibantu pula oleh para pembesar, sebut
saja Orang Kaya Bakir yang sebelumnya sudah memegang jabatan Bendaharo. Sebutan
Raja Geraha bagi Marah Hakum adalah, karena ia
dari zuriat semenda , sebab garis ayahandanya adalah berasal dari Bangsawan
Melayu Pesisir Barat.
Di zaman Raja Geraha 1853 –
1870 ini, Raja juga mengangkat kerapatan ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya
berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya,
Misalnya Tengku Bendaro, Tengku Penasihat, Datuk Penggawo, Datuk Syahbandar,
Tumenggung, Tungkat, Mufti, Penghulu, dan lainnya. Tampak nama-nama Datuk
Rambutan, Orang Kaya Syahimbang, Datuk Alang, Tengku Rantau Laban, Tengku Kodei
Damar, Tengku Tongkah dan lainnya.
Raja Geraha juga memberi
gelar pada orang-orang besarnya seperti: Datuk, OK (Orang Kaya/ Kayo), Wan dan
sebagainya.
Salah seorang pendatang dari
Bandar, bernama Kajum Damanik, yang tinggal di tanjung marulak, diangkat
menjadi salah satu orang besar Kerajaan dan diberi gelar "Datuk",
Anak beliau bernama Datuk Muhammad Ali/ Datuk Ali diangkat menjadi Datuk
Punggawa Negeri. Datuk Ali/ Datuk Penggawa mempunyai anak-anak/ putera-putera
yaitu Datuk Zakaria, Datuk Yahya, Datuk Usman dan lain-lain.(T.Ibnu Hibban)
![]() |
Datuk Muhammad Ali, Datuk Penggawo Negeri |
Pada 6 Oktober 1865, Residen
Riau yaitu E Netscher atas nama Gubernemen mengeluarkan akta yang menetapkan
daerah taklukkan (kewaziran) Kesultanan Deli yaitu Kerajaan Negeri Padang,
Kerajaan Bedagai, Denai dan Percut. Raja Geraha tidak setuju, kemudian berhenti
dan digantikan puteranya Marah Uddin, oleh Deli diberi gelar Tengku Maharaja
Muda Wazir Padang. Sedang Orang Kaya Majin gelar Datuk Indera Muda Wazir Bandar
Khalifah yang menjabat selama 7 tahun lalu wafat dan digantikan puteranya Datuk
Muda Indera.
Raja
IX. Marah Hudin/ Haji Tengku Muhammad Nurdin/ Tengku Haji gelar Tengku Maharaja
Muda Wazir Negeri Padang (1870-1914)
Raja Marah Hudin lahir tahun
1836, sesudah menunaikan ibadah haji berganti nama menjadi Haji Muhammad
Nurdin. Tahun 1888 oleh Sultan Deli diangkat menjadi Wazir Negeri Padang. Sejak
tahun 1888 (27 Rajab 1295 Hijriah) ketika Raja Haji Muhammad Nurdin dinobatkan
oleh Sultan Deli Sultan Makmun Al Rasyid, sebagai wazir Negeri Padang, maka
Tebing Tinggi resmi menjadi Tebing Tinggi Deli.
![]() |
Lambang dan Bendera Kerajaan Negeri Padang |
Haji Tengku Nurdin/ Tengku
Muhammad Nurdin gelar Tengku Maharaja Muda mempunyai istri-istri sebagai
berikut:
Istri pertama bernama
Panakboru Muncu yaitu Putri Raja Raya. Setelah menunaikan ibadah haji,
panakboru Muncu berganti nama menjadi Hajjah Rahmah, dengan. Mempunyai 3 orang
anak yakni: Tengku Haji Rahman, wafat tahun 1927. Tengku Kemala, wafat tahun
1910. Tengku Ratna Mala, wafat tahun 1929;
Istri kedua bernama Cik Mas
dari Bandar Khalifah, mempunyai seorang puteri bernama Tengku Hajjah
Halimatussakdiah dan menikah dengan Tengku Abin;
![]() |
Tengku Abin bin Tengku Etam, Penasihat Kerapatan Kerajaan Negeri Padang, sekaligus Raja Wazir Luhak Penggalangan (kini Penggalangan & Sungai Berong), digelari Geligasakti |
Istri ketiga bernama Tengku
Syarifah Zawiyah, puteri bangsawan Negeri Kedah Malaysia/ Melaka, memperoleh
lima orang anak yaitu: Tengku Alamsyah, Tengku Hasyim, Tengku Fatimah, Tengku
Maryam, Tengku Aminah;
Istri keempat bernama Cik
Etek dari Bandar Sakti, memperoleh putera dan puteri, yaitu: Tengku Ismail,
wafat tahun 1968. Tengku Sari Insana, wafat tahun 1953.
Di masa pemerintahan Marah
Hudin gelar Tengku Haji Muhammad Nurdin, banyak terjadi kerjasama dengan Raya
dan lainnya. Meski Deli menganggap beliau sebagai Wazir Deli dengan gelar
Maharaja Muda, namun Raja Raya sangat mengakui penuh status raja beliau, bahkan
Raja Raya banyak belajar sistem pemerintahan kepada kerajaan Padang, di satu sisi
kerajaan Padang memperoleh bantuan pasukan dari Raya. Walau pernah terjadi
kisah, saat utusan Tengku Muhammad Nurdin datang ke Raja Raya – Rondahaim
Saragih, dengan membawa buah tangan berupa gramafone, Raya Raya menolak mentah
mentah buah tangan yang dianggapnya sebagai khazanah kolonial.
![]() |
Sisa Istana Kerajaan Negeri Padang dan Kuburan Tengku-Tengku Negeri Padang di Bandar Sakti (Bulian) |
Wilayah Tongkah (Kampung
Muslimin sekitarnya dekat Nagaraja ), oleh Tengku Muhammad Nurdin kembali
dihidupkan, dengan mewazirkan Tengku Penasihat, yaitu Tengku Sortia - putra
Jamta Melayu (Tengku Sortia adalah cucu dari Tengku Tebing Pangeran). Tengku
Sortia membawakan para pekerja penanam tembakau dari etnis china. Secara
berkala Tengku Sortia tetap melaporkan kondisi perkebunan ke Bulian di Tebing
Tinggi (ibu negeri kerajaan Padang) karena beliau juga Tengku Penasihat, hingga
perkebunan ini menjadi aset penting bagi kerajaan Padang hingga masuk revolusi
sosial 1946. Di wilayah itu, Tengku Sortia dijuluki ‘Parmata’ oleh etnis
Simalungun di wilayah tersebut, yang bermakna memiliki mata bathin. Tengku
Sortia wafat di wilayah itu pada masa revolusi sosial maret 1946. Saat itu, Tengku Sortia sedang salat di rumahnya, di kawasan Tongkah, bersama istrinya Puang Maimunah, lalu datang sekumpulan orang menyeretnya, Tengku Sortia lalu dibunuh dan jasadnya dihanyutkan di sungai tak jauh dari rumahnya.
![]() |
Tengku Achmad Sortia bin Tengku Jamta Melayu, Penasihat Hukum Adat (Pokrol) Kerajaan Negeri Padang, sekaligus Raja Wazir Luhak Tongkah (Kini Desa Muslimin & Nagur Usang), Digelari Permata. |
Padang juga lebih
mengaktifkan perikanan dan kelautan di wilayah Bandar Khalifah sebagai
pemasukkan lain selain tembakau dari wilayah Tongkah. Zuriat Raja Tebing
Pangeran yang berada di Bandar Khalifah bekerjasama dengan kaum dari Orang kaya
Majin gelar Datuk Indra Muda Wazir Bandar Khalifah, menghidupkan perekonomian
kerajaan ini.
![]() |
Mesjid Raya Bandar Khalifah |
Mesjid Raya Tebing Tinggi
yang ada sekarang, dibina masa Raja Tengku Haji Muhammad Nurdin, dengan nazir
pertama adalah Tuan Guru Haji Ibrahim, sebagai Masjid kerajaan; bersama itu
juga dibangun masjid kerajaan di Pekan Bandar Khalifah dengan nazir Tuan Khatib
Summun, Pekan Sei Berong dengan nazir Tuan Khatib Syukur, serta sebuah
pemondokan di Makkah untuk rakyat kerajaan Tebing Tinggi dengan kuasa kenaziran
adalah Tuan Haji Zainuddin.
Pada tahun 1885, Sultan
Deli, Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah, menganggap Raja Padang, yaitu
Raja Haji Tengku Muhammad Nurdin/ Tengku Haji, tidak setia kepada Kesultanan
Deli serta memecat beliau, kemudian mengangkat keluarganya yaitu Raja Muda
Tengku Sulaiman menjadi pejabat Raja Negeri Padang (1885-1888). Hal ini
menyebabkan Tuan Rondahaim Saragih, Raja Raya, merasa tersinggung, dan
melakukan pemberontakan terhadap Kesultanan Deli dan Kolonial Belanda yang
dikenal dengan "Perang Raya".
Raja Syahbokar, pewaris
Kerajaan Padang (anak dari Tengku Tebing Pangeran - Raja ke VII), turut
membantu Kerajaan Raya, dengan harapan jika diperoleh kemenangan dapat kembali
mengambil posisi di Kerajaan Padang. Tapi Tuhan menentukan lain, beliau gugur
dalam peperangan terkena peluru serdadu
Belanda di Bandar Bejambu, kemudian dimakamkan di daerah tersebut tanggal 9
Oktober 1887. Belanda Menilai pemberontakan ini cukup membahayakan, hingga 1888
Tengku Haji Muhammad Nurdin ditahtahkan kembali sebagai Maharaja Padang.
(Tengku Ibnu Hibban)
Tengku Muhammad Nurdin yang
lahir 1836 dan mangkat pada 1918 ini, ingin agar Tengku Abdurrahman (Burahman),
puteranya dari istri Haji Rahmah (Cik Puang Muncu clan Saragih Raya), untuk
menikah dengan puteri Raja Syahbokar yang masih belajar di Makhtab Pagurawan,
yang kemudian dibawa ke Bulian. Namun beberapa tahun kemudian datang Tengku
Achmad - utusan Sultan Deli, untuk meminta puteri Raja Syahbokar.
Tengku Maharaja Nurdin
awalnya menolak lalu dipanggil Sultan Deli ke Medan, tapi cuma bertemu orang
besar bernama Tengku Usup. Karenanya pada 1885 Maharaja Padang – Tengku Haji
Muhammad Nurdin diturunkan. Beliau digantikan puteranya Tengku Burahman yang
diawasi Tengku Sulaiman - Deli.
Muncullah pemberontakan yang
turut melibatkan pasukan Rondahaim dari Raya. Belanda Menilai pemberontakan ini
cukup membahayakan hingga 1888, Tengku Haji Muhammad Nurdin ditahtahkan kembali
sebagai Maharaja Padang. (Tengku Muhar Omtatok)
Di masa Sultan Deli, Sultan Ma'mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, beliau bertitah pada 9 Oktober 1907, bahwa
Bandar Khalifah milik Kerajaan Padang di Tebing Tinggi sebagai Pelabuhan Resmi
Kerajaan Padang, disebut juga sebagai Pelabuhan resmi Kesultanan Deli, selain
Belawan dan Tanjung Beringin.
![]() |
Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) |
Tengku
Sulaiman dari Kesultanan Deli (1885-1888)
Sultan Deli, Sultan Ma’mun
Al Rasyid Perkasa Alamsyah, menganggap Raja Padang, yaitu Raja Haji Tengku
Muhammad Nurdin/ Tengku Haji, tidak setia kepada Kesultanan Deli serta memecat
beliau, kemudian mengangkat keluarganya yaitu Raja Muda Tengku Sulaiman menjadi
pejabat Raja Negeri Padang.
Tengku
Jalaluddin Tengku Temenggong Deli (1914-1928)
Raja
X. Tengku Alamsyah gelar Tengku Maharaja Bongsu (1928-1931)
Pada 1914 Maharaja meminta
berhenti karena uzur. Putera beliau dari Puan Suri Tengku Syarifah Jawiyah – Kedah,
yaitu Tengku Alamsyah masih berhalangan, maka untuk sementara diangkatlah
pejabat, yaitu Tengku Ibrahim dan Tengku
Jalaluddin - Tengku Tumenggung Deli, sampai Tengku Alamsyah
berkebolehan.
Dua belas tahun kemudian,
Tengku Alamsyah ditabalkan menjadi raja Kerajaan Padang dengan gelar Tengku
Maharaja Bongsu, 1926. Meski saat Tengku Alamsyah dinobatkan menjadi Maharaja,
Deli berpendapat bahwa turunan Raja
Tengku Tebing Pangeran lah yang berhak
menjadi raja, bahkan Deli kembali mengutus Tengku Temenggung Djalaluddin ke
Tebing Tinggi.
Di era pemerintahan ini,
juga dilanjutkan pembangunan Tebing Tinggi dengan meminjam kas Kesultanan Deli
sebesar 40.000 gulden. Namun terjadi sebuah penggelapan, karenanya pada mei
1932, Tengku Alamsyah lari ke Riau. Tengku Sortia putera Tengku Haji Jamta
Melayu menemui Deli di Medan, untuk
memediasi. Upaya Tengku Sortia membawa hasil, pinjaman tersebut diputihkan oleh
Deli karena ikhtikat utusan kerajaan Padang tersebut mempertemukan Tengku
Alamsyah dengan Sultan Deli pada 14 Maret 1935. Dalam sumber lain disebutkan
ada peran Tengku Hassim dalam penyelesaian kasus abangdanya tersebut.
De Radja van Padang, Tengkoe
Alamsjah die zijn standplaats in mei 1932 zonder achterlating van adres
verliet, endoor wiens op greete schaal verduisteringen tot een bedrag van meer
dan f.40.000 ten nadeele van het landschap Deli werdan gepleegd keerde op 14
maart 1935 uit eegen beweging in Medan terug. (MO Gubernur ST JHR BCCMM Van
Suchtelen 29-06-1933 - 31-01-1936).
Dalam koresponden penulis
dengan Dr. Tengku Mansoer Adil Mansoer di Belanda, tentang ini, ia menulis:
Raja dari Padang, Tengku Alamsyah,
meninggalkan tempatnya bulan Mei 1932, tanpa memberi tahu tempat pendiamannya
yang baru. Ia menggelapkan uang sebesar Fl. 40.000,00 (gulden) dari harta
Landschap Deli dan pada hari 14 Maret 1935 ia kembali ke Medan dengan rela dari
Tengku Sortia. Dalam surat kabar yang lain namanya tak disebut hanya Tengkoe A.
Miraza, 2013, menulis:
“…Raja Negeri Padang, yaitu Tengku Alamsyah, yang dikirim Belanda ke penjara di
Bengkalis Riau karena beliau membuat kesalahan”.
Di saat kepergian Tengku
Alamsyah ini, Atas perintah Deli, Kerajaan Padang dijabat saudara-saudaranya,
masing-masing Tengku Ismail (1932-1933) dan Tengku Hassim (menjabat pada1933 –
hingga muncul revolusi sosial 1946).
Tengku
Ismail (1931-1933)
Tengku
Hassim (1933 hingga Revolusi Sosial 1946)
![]() |
Tengku Hassim, Raja Terakhir Kerajaan Negeri Padang |
Tengku Hassim dimasa
menjabat tersebut, beliau yang alumni Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah
Tinggi Hukum) juga memimpin Kerapatan Kerajaan Padang, dengan jaksa masa itu
adalah Tengku Syahduddin dan Tengku Said Almi.
Kerapatan ini khusus mengadili orang bumi putra. Kerapatan atau
pengadilan untuk asing berkedudukan di Pematang Siantar yang bersidang di
Tebing Tinggi dipimpin oleh Hakim ketua Mr. Derkswagar dan jaksanya Baginda
Marah Said.
![]() |
Raja & Orang Besar Kerajaan Negeri Padang di Tebingtinggi Deli |
Pengadilan waktu itu disebut
Landrat, khusus mengadili orang – orang asing (berbahasa asing). Setelah perang
dunia ke II tahun 1947 dan dengan keluarnya Undang – Undang Darurat Tahun 1951,
Kerapatan Kerajaan ini dilebur menjadi pengadilan Negeri, dan ditetapkan Tengku
Hassim menjadi hakim yang pertama di pengadilan negeri, jaksa waktu itu Ismail
Karmin dengan daerah Jabatannya Untuk wilayan Padang (Tebing Tinggi
sekitarnya).
Ketika terjadi Revolusi Sosial 1946, Tengku Hassim mengungsi ke Medan, menyelamatkan diri dari amuk masa, tepatnya pada Maret 1946. Sejak itu, Kerajaan Negeri Padang bubar dan bergabung dengan Republik.
Ketika terjadi Revolusi Sosial 1946, Tengku Hassim mengungsi ke Medan, menyelamatkan diri dari amuk masa, tepatnya pada Maret 1946. Sejak itu, Kerajaan Negeri Padang bubar dan bergabung dengan Republik.
Setelah revolusi sosial
1946, Tebing Tinggi dipimpin oleh seorang walikota yaitu Munar S Hanijoyo
sampai 1947, meski selanjutnya Tengku Hassim menjadi walikota Tebing
Tinggi hingga 1950, selanjutnya
digantikan oleh Tengku Alamsyah hingga 1951.
![]() |
Peta Sumatera Timur sebelum 1946 |
Raja
XI. Tengku Izhanolsyah bin Tengku Alamsyah
Raja
XII. Tengku Nurdinsyah Al Hajj gelar Tengku Maharaja Bongsu Negeri Padang (2014
- Sekarang)
Tengku Nurdinsyah Al Hajj
gelar Tengku Maharaja Bongsu Negeri Padang dikukuhkan sebagai Wazir Kesultanan
Deli di Negeri Padang pada hari Minggu, 18 April 2004.
Concessie
(Konsesi Tanah)
Pada tahun 1881 datang
permintaan dari Naeher & Grob untuk membuka concessie di wilayah Kerajaan
Padang dan Bedagai. 1882 datang pula Controleur dari Labuhan dan Serdang, soal
hubungan Raja Padang yang Melayu dengan Batak di Pagurawan yang dikatakan
kurang mesra. Kedua controleur itu mendapat kesan bahwa untuk memberi concessie
ini hanyalah lebih dahulu dapat diatur di daerah-daerah Melayu saja, sedang
daerah-daerah orang Batak yang bermukim harus pelan-pelan dan hati-hati.
15 Desember 1884 dibuat
kontrak antara Sultan Deli & Tengku Pangeran dengan Gouvernement, yang
mengatur pengalihan cukai, monopoli dan sebagainya. Pada 5 Maret 1885, Kerajaan
Padang masing-masing mendapat 30.000 gulden per tahunnya, dibagi menurut
sepanjang adat antara yang berhak.
Pada 2 Juni 1907 diadakan
politiek contract baru antara Sultan Deli dengan Gouvernement. Sampai saat itu
dalam pemerintahan Sultan Deli ada pula Maharaja Padang, Raja Pangeran Bedagai,
terdapat orang-orang besar dengan title Kejeruan. Sehingga gouvernement tetap
akan mengeluarkan schadevergoeding kepada pemerintah zelfbestuur sebesar
185.850 gulden.
Perihal aturan hukum,
gouvernement untuk Sumatera Timur mengatur pembagian pengadilan dalam kerajaan,
berdasarkan wilayah Bataksche Streken dan Daerah Melayu. Kerapatan Raja Padang di Daerah Melayu berhak mengadili sampai f.625, dan boleh
appel kepada Kerapatan Negeri jika pokok perkara lebih dari f.125. Kerapatan
Negeri mengadili lebih besar dari itu, dan boleh appel ke Kerapatan Sultan jika
pokok perkara lebih dari f.1250.
Beberapa
Nama Wilayah Di Tebingtinggi
Cong
Api
Kata Cong Api berasal dari
nama Tjong A Fie adalah seorang bankir dari Meixian, Guangdong, Tiongkok.
Setelah perantauannya di Medan pada 1875 lampau, dia membangun bisnis
perkebunan besar, yakni pabrik kelapa sawit, pabrik gula, perusahaan kereta
api, dan memiliki lebih dari 10.000 karyawan berkat kepiawaiannya dalam bergaul
dengan gaya prularisme.
Wilayah Jl. Tjong A Fie kini
bernama Jl. KH Ahmad Dahlan, tapi tetap melekat dalam sebutan Cong Api. Di
wilayah ini berjejer beberapa stand pedagang lemang.
Kota Tebing Tinggi disebut
juga Tebing Tinggi Deli, dikenal sebagai Kota Lemang. Disebut Kota Lemang,
seperti halnya daerah-daerah lain di Pulau Sumatera, lemang menjadi salah satu
panganan khas pada hari besar tertentu.
Di Tebing Tinggi dulu,
lemang didagangkan keliling kampung. Di sekitar tahun 1958, pendatang etnis
Minangkabau mulai memasuki kota Tebing Tinggi, dan memulai melirik Lemang
menjadi dagangan yang menjanjikan keuntungan.
Jadilah Tebing Tinggi
menjadi lebih Kota Lemang, sejak Pemko Tebing Tinggi membuat Pesta Lemang
Terbesar dan Terbanyak dengan 96 varian rasa. Peristiwa unik ini tercatat dalam
Museum Rekor Indonesia (MURI), 29/06/2013.
Bulian
Kayu Ulim (eusideroroxylon
zwageri) dalam bahasa Melayu disebut Bulian. Adalah nama pohon besar yang
berkayu keras, yang baik dipergunakan untuk bahan bangunan dan jenis atap.
Di wilayah Bulian di Tebing
Tinggi, dahulu banyak ditumbuhi jenis pohon yang tingginya mencapai 50m dengan
diameter 170cm ini.
Wilayah Bulian, dulu pernah
menjadi Ibu Negeri Kerajaan Padang.
Bandar
Sakti
Nama Bandar Sakti disebut
pertama kali oleh Tengku Achmad Rasyid alias Penghulu Amat. Tengku Achmad
Rasyid adalah Bangsawan Langkat yang diminta Raja Siantar untuk menjadi Hoofd
Penghulu di Bandar Tinggi karena terjadi kerusuhan antar Puak Simalungun,
Mandailing, Rao dengan Banjar di wilayah tersebut.
Pada maret 1946 terjadi
revolusi sosial pembantaian kaum bangsawan. Keluarga Penghulu Amat dan Turunan
Raja Tanjung Kasau lari menyelamatkan diri di sebuah rumah di wilayah yang kini
disebut Jl. F Tandean Tebing Tinggi.
Pada hal wilayah tersebut
adalah wilayah kantong bangsawan Kerajaan Padang, yang juga sebenarnya rawan
menjadi korban pembantaian.
Kesaktian wilayah tersebut
yang mampu menyelamatkan kaum bangsawan dari amuk pemberontak disebut Bandar
Sakti.
Bagelen
Dari hikayat mulut ke mulut
adalah wilayah berpaya di pinggiran Tebing Tinggi sekarang. Di dekat paya itu
tinggal seorang puteri yang selalu bertenun songket, Puteri Pinang Sendawar.
Konon sang puteri adalah
anak seorang raja yang selalu kematian anak. Maka raja mengasingkan sang
puteri, agar tidak meninggal dunia. Di tempat pengasingan tersebut Puteri
Pinang Sendawar yang selalu bertenun songket tersebut akhirnya menikah dan
memiliki dua anak lelaki.
Ternyata aktifitas bertenun
songket masih ia lakukan setelah memiliki anak. Keasyikan bertenun itu membuat
ia lupa waktu dan akhirnya dua anaknya mati kelaparan di dalam lumbung. Padahal
salah satu anaknya masih usia menyusui. Puteri itu akhirnya kalut dan menyusui
anak lembu.
Kisah klasik di wilayah
tersebut ternyata ada kemiripan dengan kisah asal muasal daerah Bagelen di
Pulau Jawa. Oleh para kuli kontrak pekerja perkebunan asal Jawa, wilayah itu
mereka namakan Bagelen.
Kampung
Durian
Disebut Kampung Durian,
karena dulu banyak ditumbuhi pohon-pohon durian.
Kampung
Bicara
Bicara dalam bahasa Melayu
artinya adalah akal budi, pikiran, perundingan, beperkara, berurusan,
pertimbangan pikiran, pendapat, berbahasa dan berkata.
Di wilayah Kampung Bicara,
dulu berdiam seorang cendikia yang pembicaraannya bernas dan buah fikirnya
selalu memberi solusi terbaik. Konon orang segan menaiki rumah panggungnya jika
ingin meminta Beliau berbicara, tapi sang cendikiawan akan turun dari rumah
panggung dan mengajak orang berbicara di bawah pohon manggis yang tumbuh di
halamannya.
Bandar
Sono
Dulu di wilayah ini sudah
lama menjadi daerah pemukiman. Banyak tumbuh pohon angsana (Pterocarpus
indicus). Pohon angsana dalam bahasa lokal disebut Pokok Sono atau dalam dialek
lain disebut Sena. Karenanya wilayah ini disebut Bandar Sono.
Persiakan
Di wilayah ini dulu sunyi,
sungai menjadi wilayah pelintasan peniaga ke pusat Tebing Tinggi. Jika pedagang
yang bersampan melewati tempat ini, maka acapkali menemukan kaum asal Siak yang
bermukim di wilayah ini. Karena orang-orang asal Siak tersebut bermukim di
tempat itu, maka orang menyebutnya Persiakan.
Persiakan dalam bahasa Melayu memiliki beberapa arti
yaitu tempat perawat surau atau daerah yang tumbuh pohon siak (Dianelle
ensifolia).
Kampung
Mandailing
Perjalanan Tuanku Tambusai
yang berperang melawan Belanda melintasi pegunungan Bukit Barisan (Mandailing,
Angkola, Padang Lawas dan Kota Pinang) kemudian dipandang sebagian penting
dalam sejarah migrasi orang Mandailing. Jalur perjalanan itu kemudian dipakai
para perantau sebagai jalur pertama ke Sumatera Timur. Gelombang kedua migrasi
orang Mandailing dalam jumlah besar terjadi pada tahun 1840-an. Ketika itu
perkebunan belum dibuka di Sumatera Timur. Sejak itu migrasi orang Mandailing
terus berlanjut. (Pelly, 1994:42,55).
Tanah Deli (orang Mandailing-Angkola menyebutnya Tano
Doli) adalah daerah rantau utama orang Mandailing-Angkola. Para perantau awal
Mandailing-Angkola tampil sebagai guru, guru agama, kerani, kadhi atau
pedagang. Pembauran mereka dengan masyarakat Melayu tidak mengalami kesulitan,
karena terutama adanya persamaan agama. Keturunan mereka ditambah dengan para
migran yang terus berdatangan sejak akhir abad XIX telah membentuk suatu komunitas
tersendiri.
Hubungan mereka yang erat
dengan kalangan bangsawan Melayu menempatkan mereka pada kedudukan yang
terhormat di kalangan masyarakat. Banyak diantara mereka yang menjadi pejabat
pejabat agama kesultanan dan kerajaan.
Keberhasilan perantau Mandailing
di pesisir Sumatera Timur antara lain karena : kesamaan dalam agama dan
keyakinan dengan suku Melayu, pendidikan yang lebih baik , dan kurangnya
persaingan kelompok-kelompok etnis lain. Dalam hal ini perantau Mandailing
memiliki dua keuntungan, yaitu; 1. Simpati kesultanan kesultanan Melayu, dan 2.
Posisi ekonomik mereka yang lebih lama. (Castles,1972:187;Pelly,1994:61).
Di Tebing Tinggi sendiri,
Kampung Mandailing dulu adalah pemukiman yang disediakan Kerajaan Padang untuk
kaum ulama asal Mandailing – Angkola yang kedudukannya setara dengan Melayu,
dan dianggap sebagai puak Melayu.
Kondisi nyaman yang didapat
Orang Mandailing dari penguasa Melayu di Tebing Tinggi, membuat migrasi
Mandailing ke Tebing Tinggi semakin bertambah dari golongan usahawan emas yang
cukup berhasil. Di dunia kesenian Melayu, Orang Mandailing turut berkiprah
sebagai seniman lagu, musik dan lainnya, bahkan turut berbahasa Melayu fonem
‘O’ sebagai bahasa utama.
Kampung
Rao
Rao adalah sebuah kecamatan
di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, Rao sendiri adalah sub etnis Melayu.
Kehadiran etnis Melayu Rao
ke Tebing Tinggi, sezaman dengan kehadiran Mandailing. Pemukiman orang Rao
tidak jauh dari Kampung Mandailing, yang disebut Kampung Rao.
Tongkah
Wilayah yang dulu sebagai
rantau Padang, kini berada di sekitar Kampung Muslimin, Nagur Bayu, Nagur
Usang. Dulu sebagai negeri wazir Padang yang ditanam tembakau.
Rantau
Laban
Rantau Laban secara bahasa
artinya adalah daerah yang banyak ditumbuhi pohon laban. Pohon Laban berkayu
putih kekuning-kuningan, kulit dan daunnya
lebih besar dari pada daun kenari,
biasa digunakan untuk obat; Vilex pubescens. Ada beberapa jenisnya
Laban, seperti Laban Bunga dan Laban
Kunyit.
![]() |
Sekarang Berganti nama Menjadi Rumah Sakit Sri Pamela milik PTPN. Dibangun Belanda di Rantau Laban |
Di Rantau Laban dahulu
sebagai ‘luhak’ dari Negeri Padang, yang pernah dipimpin Tengku Alaidin Sri
Maharaja, Ia juga pernah menjadi Tengku Maharaja wazir Negeri Serdang. Yang
terakhir Luhak Rantau Laban dipimpin Tengku Muhammad Aminullah, zuriatnya kini
banyak bermukim di Paya Lombang.
Sumber
Tulisan Tengku Muhar Omtatok
Tulisan Tengku Ibnu Hibban
3 komentar untuk "Sejarah Kota Tebing Tinggi dan Kerajaan Negeri Padang"
Berkomentar dengan santun dan baik. Utamakan akhlak.