Kejahatan Komunis di Sumatera Timur Tahun 1946
![]() |
Tengku Amir Hamzah |
"Lari dari Binjai
patik pantang. Patik adalah keturunan Panglima, kalah di gelanggang sudah
biasa. Dari dahulu patik merasa tiada bersalah kepada siapa. Jadi salah besar
dan tidak handalan, kalau patik melarikan diri ke kamp NICA di Medan. Sejak
Sumpah Pemuda, patik ingin merdeka".
Perkataan diatas adalah perkataan Tengku Amir Hamzah sebelum beliau
wafat, dipancung kepalanya, ditangan guru silatnya sendiri, Mandor Eyang Wijaya.
Inilah salah satu kejahatan komunis saat itu, beberapa bulan setelah
proklamasi kemerdekaan dibacakan di Jakarta, mereka komunis, melakukan
penyembelihan banyak manusia/ genocide, terhadap kaum bangsawan dan keluarga, di
kesultanan dan kerajaan di Sumatera Timur, mereka menyebut genocide ini dengan “Revolusi
Sosial”. Genocide ini terjadi Pada Tahun 1946, dan penyembelihan ini seperti
tak pernah dibahas dalam sejarah Indonesia dan seperti sengaja dilupakan begitu
saja.
Revolusi
Sosial yang berakhir dengan penyembelihan manusia, berakar dari adanya
kecemburuan sosial antara non bangsawan dan bangsawan. Di Sumatera Timur,
menjelang tahun kemerdekaan 1945, masih banyak terdapat Kerajaan dan Kesultanan,
yang berakibat adanya kelas-kelas sosial, yaitu Bangsawan (Raja, Sultan dan
keluarganya), Pegawai Pemerintah, Pedagang dan Orang Kaya (OK), Petani dan
Budak. Berkembangnya pemahaman politik pada waktu itu, turut pula menyulut
keprihatinan terhadap perbedaan kelas yang didorong oleh keinginan untuk
menghapuskan sistem feodalisme di Sumatera Timur. Hal inilah yang mengakibatkan
para kaum non bangsawan menaruh dendam kepada kaum Bangsawan Sumatera Timur
yang juga mereka anggap sebagai kaki tangan Kolonial.
Sebagai
Negara yang baru terbentuk, jiwa nasionalisme rakyat Indonesia berada dalam
kondisi on fire dan setiap saat dapat
terbakar dan dapat menyebabkan apa yang disebut “nasionalisme buta”. Situasi
rakyat yang masih baru merdeka, kemudian disulut dengan provokasi organisasi-organisasi
komunis, berujung pada revolusi massa yang menelan ongkos sosial yang tinggi. Demikianlah
hingga akhirnya terjadi peristiwa berdarah yang meluluhlantakkan feodalisme di
Sumatera Timur terutama pada rakyat Simalungun dan Melayu. Termasuk punahnya
sebuah peradaban di Sumatera Timur (Simalungun dan Melayu), dimana raja dan
kerabatnya beserta istananya musnah selama-lamanya.
![]() |
Dioarama Penyerangan ke Istana Kesultanan Langkat 9 Maret 1946 |
Pada
peristiwa tersebut empat dari tujuh kerajaan Simalungun yaitu Tanoh Jawa,
Panai, Raya dan Silimakuta pada periode ketiga ini musnah dibakar. Sementara
Silau, Purba dan Siantar luput dari serangan kebringasan massa. Raja dan
kerabatnya banyak dibunuh. Peristiwa ini menelan banyak korban nyawa, harta dan
benda. Kejadian yang sama juga menimpa kesultanan Melayu dimana empat
kesultanan besarnya Langkat, Deli, Serdang serta Asahan dibakar dan lebih dari
90 sultan dan kerabatnya tewas dibunuh (Reid, 1980).
Apakah
sebuah Revolusi harus mengorbankan kemanusiaan? Dimana hati berada, dimana
nurani bersemayam, ketika para tengku pemimpin rakyat dibunuh dengan keji,
putri-putri Sultan diperkosa bahkan dihadapan Sultan sendiri, Raja dipenggal
kepalanya oleh rakyatnya sendiri? Apakah Negeri sudah tak berhati, apakah
rakyat sedemikian dendam, apakah raja melakukan sebuah kejahatan yang tak
termaafkan? Begitu murahnya kah nyawa manusia dimata komunis? Ini bukanlah
Revolusi tetapi ini adalah kebengisan dari segerombolan binatang hina yang
menamakan dirinya nasionalis.
Saya
belum menemukan sumber sejarah yang akurat untuk dipercaya, tapi dari
sumber-sumber sejarah yang saya baca di internet, dapatlah saya simpulkan,
kejahatan yang telah dilakukan oleh komunis di sumatera timur adalah kejahatan
kemanusiaan yang tak terperikan, pemerkosan, penjarahan, penyembelihan. Ini
bukanlah sikap nasionalisme, ini berlebihan, ini nasionalisme buta, ini
genocide, salah satu keluarga Kerajaan Negeri Padang Tebing Tinggi, Tengku Sortia, turut menjadi korban dalam bulan berdarah Maret 1946. Saat itu, Tengku Sortia sedang salat di rumahnya, di kawasan Tongkah, bersama istrinya Puang Maimunah, lalu datang sekumpulan orang menyeretnya, Tengku Sortia lalu dibunuh dan jasadnya dihanyutkan di sungai tak jauh dari rumahnya. Membaca catatan-catatan sejarah dari sumber-sumber di internet
membuat saya turut merasakan kesedihan yang mendalam dan turut berduka cita atas pembantaian yang menimpa keluarga
Kerajaan Simalungun dan Kesultanan Melayu di Sumatera Timur.
Semoga
Tuhan memberikan tempat yang baik bagi seluruh korban kekejaman Komunis pada Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur. Aamiin…
Sedikit tanggapan tentang Feodalisme dulu dan sekarang, dan juga tentang Tengku Amir Hamzah http://www.lenteratimur.com/ku-busu-yang-bukan-peragu/
...
Lesatan zaman kekinian pun kemudian seakan mengajak
memutar. Dalam sistem yang dahulu menumbangkan apa yang disebut feodalisme,
pola kekuasaan sentralisme Indonesia kini justru semakin seru mendenguskan
kembali hasrat-hasrat feodalisme. Jabatan-jabatan elitis kini menjadi rebutan.
Bapak pejabat, anak pejabat, lingkarannya pun mendapat rezeki berlimpah.
Bahkan, pernikahan pangeran Inggris, Pangeran William dan Kate Middleton pada
29 April 2011, yang jelas-jelas termuat dalam definisi feodalisme, oleh
televisi-televisi Jakarta yang bersiaran nasional justru turut dirayakan dengan
melakukan siaran langsung seharian dan juga pada hari-hari berikutnya. Ada
program khusus yang bahkan dibuat hanya untuk memelototi detail busana sang
pengantin.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis PaEni, pernah mengatakan bahwa ada kekecewaan yang
teramat besar di negara Indonesia kini. Jika dahulu feodalisme dikecam, wajah
Indonesia kini justru menampilkan wajah tersebut.
“Setelah menjadi satu negara, mereka menjadi kecewa,
kecewa menjadi supernasionalis, kecewa menjadi seorang yang menyerahkan
mentah-mentah identitas lokalnya itu kepada negara ini. Apa yang membuat mereka
kecewa? Ternyata feodalisme, kebangsawanan, kebarat-baratan, bukan pada gelar,
bukan pada harta, tetapi pada perangai orang per orang. Begitu dia (orang lain)
menjadi pejabat di negara republik ini, dia lebih feodal,” tukas PaEni
sebagaimana tertulis di LenteraTimur.com (6/6).
Cekokan kisah yang menyimpan propaganda tertentu atas
nafsu kekuasaan secara diam-diam kerap menjebak kita pada lubang yang sama.
Kegelisahan Amir Hamzah akan segala bentuk ketidakadilan di masa lalu ternyata
kini masih kita rasakan jua. Di tengah bisingnya kabar-kabar ketidakadilan yang
menjadi santapan setiap hari, pembacaan kembali atas sosoknya dalam biografi
ini kiranya dapat menjadi semacam “Buah Rindu” akan “Nyanyi Sunyi” sang pangeran,
Tuanku Tengku Amir Hamzah.
Berikut tulisan tentang Tengku Amir Hamzah dan Maret Berdarah di Sumatera Timur
Posting Komentar untuk "Kejahatan Komunis di Sumatera Timur Tahun 1946"
Berkomentar dengan santun dan baik. Utamakan akhlak.