Perang Aceh (Bagian 1)
![]() |
Bendera Kesultanan Aceh Darussalam (Sumber Google) |
Perang Aceh merupakan hasil
provokasi, ketamakan, pengkhianatan dan ambisi dari Pemerintah kolonial
Belanda. Tujuannya adalah menyempurnakan kekuasaan penjajahannya atas seluruh
Sumatera dan sekitarnya. Invasi terhadap kesultanan Aceh dilakukan bertepatan setelah
rubuhnya kejayaan Negara Gereja Vatikan pada 1870 M dan dengan terbukanya
Terusan Suez (1869 M), sehingga menyebabkan jalan laut niaga antara Kepulauan
Melayu dan Timur Tengah semakin dekat.
Sebelum Terusan Suez beralih
ke tangan Inggris, sebenarnya kerajaan Anglikan Inggris telah berhasil membuka
pelabuhan Cina untuk barat. Hal ini terjadi setelah Perang Candu (1842 M) dan
diikuti keberhasilan Inggris menumpas Pemberontakan Tai Ping pada 1860 M. Hanya
dengan menguasai Hongkong, Kerajaan Anglikan Inggris berhasil menguasai
aktivitas politik dan jalan laut niaga di Cina. Amerika Serikat menandinginya
dengan membuka Jepang (1854 M) dan merebut Filipina dari Kerajaan Katolik
Spanyol (1898 M). Hal ini dilakukan sebagai batu loncatan ke Cina.
Sebelumnya, Kerajaan Inggris
berhasil pula mengakhiri penjajahan Kerajaan Katolik Perancis atas India, dalam
Perang Laut Tujuh Tahun (1756-1763 M). Langkah selanjutnya berhasil
menghapuskan Kesultanan Mongol di India (1858 M) dan Kerajaan Sikh (1859 M)
yang diikuti dengan pembubaran East India Company (EIC) pada 1858 M. Dengan
demikian, Kerajaan Anglikan Inggris berhasil memegang hegemoni penjajahan barat
di India, Cina dan sebagian Asia Tenggara.
Langkah-langkah Kerajaan
Anglikan Inggris tersebut ditiru oleh Kerajaan Protestan Belanda yang berusaha
pula menguasai Kesultanan Aceh dengan pelabuhannya yang menghadap ke Samudera
Hindia dan Selat Malaka. Dengan kata lain, Kesultanan Aceh memiliki posisi
geografis yang sangat penting, yaitu sebagai gerbang jalan niaga laut yang
menghubungkan Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina.
![]() |
Invasi Belanda ke Aceh |
Apalagi setelah Sultan Ali
Alauddin Mansur Syah (1254-1289 H/ 1838-1870 M) mengadakan kontak niaga dengan
Kerajaan Katolik Perancis, di bawah Napoleon III pada 1852 M. Hal ini diikuti
dengan meningkatkan hubungan diplomatik antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan
Turki Ustmani pada 1288 H/ 1869 M. Dilanjutkan dengan upaya peningkatan
hubungan diplomatik pada masa Sultan Mahmud Syah (1289-1239 H/ 1870-1874 M)
antara Kesultanan Aceh dengan Turki Utsmani, Inggris, Amerika Serikat dan
Republik Perancis dibawah Presiden Thiers.
Fakta sejarah tersebut
menggambarkan betapa luasnya wawasan diplomatik Kesultanan Aceh pada abad
ke-19. Dalam menghadapi ancaman Kerajaan Protestan Belanda, selain meminta
bantuan kepada Kesultanan Turki Utsmani, Kesultanan Aceh juga mengadakan
hubungan diplomatik dengan Kerajaan Katolik Perancis dibawah pimpinan Napoleon
III (1852 M), kemudian dengan Amerika Serikat dan Inggris, sebagai imperialis
barat yang masih mencari tanah jajahan yang bersaing dengan Kerajaan Protestan
Belanda.
Dewasa ini, dalam penulisan
sejarah, umumnya disebutkan bahwa Kesultanan Aceh hanya berhubungan diplomatik
dengan Kesultanan Turki Utsmani. Akibanya, generasi sekarang hanya memiliki
pengertian diplomatik internasional terjadi pada abad ke-20. Para sultan
dibayangkan hanya sebagai penguasa yang tidak mempunyai hubungan diplomatik
dengan negara-negara barat lainnya.
Sumber
Gerak Kebangkitan Aceh
Api Sejarah
Posting Komentar untuk "Perang Aceh (Bagian 1)"
Berkomentar dengan santun dan baik. Utamakan akhlak.